subakir

subakir

Jumat, 20 Desember 2013

Biografi Mahmud Sami al Barudi Basya ( Pengarang Diwan al Barudi)



Al Barudi mempunyai nama lengkap Mahmud Sami Pasha bin Hasan Husni Bek al Barudi yang lahir dikawasan Bakhirah tepatnya di desa Itay al Barud pada tahun 1838 M/1255 H.[1]  Semenjak kecil ia dibesarkan oleh keluarga Jarkasyi, ayahnya wafat saat ia berumur 7 tahun. Sejak saat itulah keluarga Jarkasyi sebagai sanak familinya mengambil alih kehidupan Barudi kecil,  mengasuhnya, serta membina pendidikannya. Menginjak masa remajanya pada umur 12 tahun al Barudi tertarik untuk menempuh dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kemiliteran dan lulus ketika usianya menginjak 26 tahun. Jabatan yang pernah disandangnya ialah sebagai mentri pertahanan dan mentri perwakafan. 
Kesuksesan karirnya dalam dunia militer di peroleh dengan kerja keras, dan ia memulainya dari bawah. Al Barudi dikenal sebagai seorang prajurit yang militan, sangat disiplin dan berpikir tajam, maka tidak heran bila dalam jangka waktu yang relatif singkat ia telah memperoleh pengetahuan yang mumpuni dalam dunia militer, menguasai banyak teori dan strategi-strategi kemiliteran secara komperhensif. Setelah lulus dari sekolahnya di Mesir, al Barudi dikirim menuju Paris dan Inggris untuk urusan militer. Pada tahun 1294 H ia di angkat sebagai komandan perwira. Pada tahun 1282 H/1879 M ia mengikuti sebuah perang di Semenanjung Kerit atas nama Mesir membantu Turki untuk melawan Rusia.[2]
Dalam dunia militer karirnya semakin melesat naik, pada tahun 1299 H al Barudi diangkat sebagai Perdana menteri di Mesir. Kesuksesan dan kecemerlangannya dalam dunia kemiliteran membuat banyak orang menjulukinya dengan sebutan Si Raja Pedang.
Ketika bangsa Arab mengadakan pemberontakan, al Barudi ditangkap  dan dibuang ke daerah Sarnadib (Sailan) selama  17 tahun. Dalam masa pembuangannya itu ia banyak merenung dan  merefleksikan diri tentang kehidupannya, walau pada akhirnya sebelum di bebaskan ia  terserang penyakit yang membuat kedua matanya buta. Setelah bebas ia dikembalikan lagi ke Mesir. Dan disana jugalah menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi al Barudi, ia meninggal dunia pada tahun 1904 M di Kairo.[3]
Menulusuri kehidupannya dalam dunia sastra itu tampak pada saat al Barudi masih kecil, semenjak ayahnya wafat (1845 M) ia hidup dalam kesunyian. Situasi dan keadaan tersebut mempunyai hikmah positif, ia memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca banyak buku. Al-Barudi saat itu sangat menyukai menelaah buku-buku sastra klasik terutama yang menyangkut dengan tema peperangan, patriotisme dan kepahlawanan. Dalam karya-karya sastranya kita bisa melihat keterpengaruhan al Barudi oleh para penyair pujaannya seperti Umrul Qais dan Ibnu Mutaz. Ketika ia merantau untuk beberapa kepentingan  ke Turki, saat itu ia memanfaatkan untuk mempelajari bahasa Turki terutama dalam bidang kesusastraannya, tentunya tanpa meninggalkan perhatiannya dalam sastra Arab.
Bakat dan kepiawaiannya dalam sastra Arab itu membawanya menjadi salah seorang tokoh penting dalam dunia sastra Arab. Jasanya yang paling besar adalah memecahkan kebuntuan para penyair pada masanya dari kejumudan dan kerusakan bahasa. Sejak berdirinya dinasti Ustmani sampai runtuhnya pada awal abad 18, peradaban bangsa Arab mengalami keterpurukan dalam berbagai bidang, termasuk menjurus ke bidang sastra yang menjadi cerminan kehidupan bangsanya. Pada masa Turki Ustmani, model puisinya sangat dangkal dan artifisial, mungkin dikarenakan bahasa Arab bercampur dengan dialek Ustmani yang sempit ditambah lagi pada masa itu pemerintah disibukkan dengan mengawasi hegemoni daerah taklukan Turki yang sangat luas, apalagi pada masa al Barudi banyak daerah Arab yang diduduki pemberontak, sehingga perhatian penguasa saat itu sangat kurang tentang memajukan keilmuaan dan peradaban khususnya dalam bidang sastra dan puisi Arab. 
Melihat realitas kejumudan dan kerusakan bahasa itulah al Barudi memberikan suatu pembaharuan dalam dunia sastra Arab. Pembaharuan al Barudi bisa di lihat dari meluasnya tema-tema lama dalam pembuatan puisi, dan itu bisa dikatakan berhasil, karena keberhasilan dalam dunia sastra bisa ditopang dari munculnya banyak tema/genre baru sehingga khazanah keilmuaannya menjadi beragam, terutama tema-tema lama yang meluas seperti tema ghazal (puisi cinta) yang di tambahi dengan nuansa cumbu rayu, hanin (kerinduan yang mendalam) dan fakher (berbangga-bangga) serta mengusung tema-tema baru sebagai hasil transformasi dengan keilmuan barat seperti tema nasionalisme, patriotisme, humanisme, dan tema sosial kedalam sastra Arab. Karena jasanya dalam perkembangan sastra Arab itulah ia desebut sebagai “Si Raja Pena”.[4]
Al Barudi menulis banyak sya’ir yang sangat indah dalam pengasingannya. Ia menuangkan perasaannya, diantaranya adalah kerinduan akan tanah air, keluarga dan sahabat, kepedihan, penderitaan, patriotisme, peperangan, juga peristiwa-peristiwa lainnya  yang ia alami. Sya’ir-sya’ir al Barudi sangat terpengaruh dengan para penyair seperti Hasan Bin Tsabit, Hatim Ath-Tha’i, Al-Mutanabbi, Abu Farasy, Asy-Syarif Ar-Radli dan yang lainnya, namun pengaruh Abu Farasy Al-Hamdani dan Al-Mutanabbi jauh lebih besar dibanding penyair lainnya.


[1] Udin Purkonudin, Biografi Sastrawan Arab: Mahmud Sami al Barudi, (Online:ukonpurkonudin.blogspot.com).
[2] Ibid.
[3] Mahmud Sami Al-Barudi, Diwan Al-Barudi, (Beirut: Dar Al-‘Audah, 1998), hal. 30.
[4] ___________, Mahmud Sami Al-Barudi, (Online: hffp://ar.wikipedia.org).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar